Kabupaten Sumedang, adalah sebuah
kabupaten di
Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Ibukotanya adalah kecamatan
Sumedang Utara, Sumedang,
[1] sekitar 45 km Timur Laut
Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Indramayu di Utara,
Kabupaten Majalengka di Timur,
Kabupaten Garut di Selatan,
Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta
Kabupaten Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26
kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah
desa dan
kelurahan. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari
Kota Bandung. Kota ini meliputi kecamatan
Sumedang Utara dan
Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur utama Bandung-
Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan
Kota Bandung.
IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), serta
Universitas Padjadjaran berlokasi di Kecamatan
Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran rendah.
Gunung Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.
Sejarah
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja
Galuh. Didirikan oleh Prabu
Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke
Pakuan Pajajaran,
Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang
mengalami beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung
(Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu
Guru Aji Putih pada
abad ke-12.
Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana
yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi
Sumedang Larang
(Sumedang berasal dari kata Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku
dilahirkan; aku menerangi dan larang berarti sesuatu yang tidak ada
tandingannya).
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau Prabu Geusan Ulun sekitar tahun
1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan
Samudera Hindia, wilayah Utara sampai
Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan
Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan
Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal
Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali
Kesultanan Mataram,
di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah teknik persawahan
diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal istilah "gudang beras"
untuk daerah antara Indramayu hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi
penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah
penyedia logistik pangan. Selain itu,
aksara Hanacaraka
juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal
sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini,
mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung
dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya
Pasundan yang penting.
Ketika
Pakubuwono I harus memberikan konsesi kepada
VOC,
wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian
dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang
ini.
Pangeran Aria Soeriaatmadja (bupati Sumedang pada tahun 1882 – 1919),
juga dikenal dengan julukan "Pangeran Mekkah", karena wafat di Makkah
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa,
yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung,
rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat
bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun
1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari
Negeri Belanda
dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya
dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal
22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr.
Dirk Fock
Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan
tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R. Maharmartanagara,
putra seorang Bupati Bandung Rd. Adipati Aria Martanegara, keturunan
Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal
13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
- Perisai : Melambangkan jiwa ksatria utama, percaya kepada diri sendiri
- Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
- Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
- Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
- Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
- Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
- Sinar yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
- Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
- 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak
Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun
1945
- Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
- Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar).
- Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun: Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.
- Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal berasal dari kata Su dan Medang
(
Su: bagus dan
Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampomas terdapat Kerajaan
Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan
Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang
Larang. Namun pada saat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan,
menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut
Sumedang Larang.
Dalam Kropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak lain
adalah Prabu Resi Tajimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang
disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asal-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang
ini. Sebab, Tajimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra
Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran
silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja,
maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup,
disebutkan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih,
salah seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sri
Baduga Maharaja. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur
sekitar pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Prabu
Resi Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga
Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117
H), antara lain dikatakan:
"Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih, nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru
dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sanghyang
Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai
Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan
hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal
Kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan Tembong Agung tersebut, menurut
riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan
Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputra Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan
perbandingan generasi dalam Kropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh
Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahanda
Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa
gerangan istri Sang Prabu Resi Tajimalela. Namun demikian, dalam
beberapa sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Prabu Resi
Tajimalela mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh
putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah
Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kerajaan Mataram.
Menurut versi Babat Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng
Pamanahan, Ki Ageng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia
pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudian meminumnya. Maka
kemudian yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yang mengisahkan Prabu
Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemimpinan dari
Prabu Resi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra
kembarnya Lembu Agung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada
mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia
melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar
Lembu Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang
masih muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat,"
jawab Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing
saling menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjadi raja,
akhirnya Prabu Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya
kelapa tadi serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya.
"Adinda, tolong jaga kelapa ini. Kakanda hendak pergi ke jamban dulu,"
kata Lembu Agung seraya pergi meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba
sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Prabu Gajah Agung
kemudian mengupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika
Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan
maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa
yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung menyangka, Prabu Lembu Agung akan
memarahinya. Namun ternyata, dengan kebesaran jiwa Prabu Lembu Agung
malah berkata:
"Adinda, tampaknya suratan takdir telah menentukan,
dengan diminumnya air kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu
Adindalah yang sekarang terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan
Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di
pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut
Ciguling.
Kemudian ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu
Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya , Wirajaya, yang lebih
dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah
Jawa Barat, Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang
pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan
Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama
ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini
merupakan suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang
dapat ditinggali turun temurun oleh para penerus pemegang kekuasaannya.
Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Nyi Mas
Rajamantri diperistri Sri Baduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama
Martalaya menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang
keempat dengan gelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirta Kusumah atau
Sunan Patuakan sebagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia
digantikan lagi oleh putri sulung bernama Shintawati alias Nyi Mas
Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama, yaitu Patuakan.
Ratu Shintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putra Ratu
Simbar Kencana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala. Dengan demikian, ia
menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri, yakni Mayangsari putri
Langlangbuana dari Kuningandan, Shintawati dari Sumedang. Dari
Mayangsari, Sunan Corenda memperoleh putri Bernama Ratu Wulansari alias
Ratu Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum
Talaga), putra Munding Surya Ageung. Tokoh ini putra Sri Baduga. Sunan
Parung Gangsa ditaklukkan oleh Cirebon tahun 1530 dan masuk Islam.
Dari Shintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai
putri bernama Setyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan
gelar Ratu Pucuk Umum. Ratu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang
yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah
putra Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran
putra Maulana Abdurrahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan perkawinan antara Ratu Setyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13
bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530
M, tiga bulan setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton
Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan
kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan
Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam
lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati.
Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam.
Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk
pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata,
Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai
enam orang anak, yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kiyai
Rangga Haji, Kiyai Demang Watang Walakung, Santowaan Wirakusumah, yang
melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowaan Cikeruh dan
Santowaan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran
Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan
pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar
Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi
kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di
sebelah Selatan dan Utara dibatasi laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga
Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn.
Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember
1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari
1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan
Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti
kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan
bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah
Parahyangan yang terdiri dari 22 kandagalante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
- Timbanganten
- Batulayang
- Kahuripan
- Tarogong
- Curugagung
- Ukur
- Marunjung
- Daerah Ngabei Astramanggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
- Selacau
- Daerah Ngabei Cucuk
- Manabaya
- Kadungora
- Kandangwesi (Bungbulang)
- Galunggung (Singaparna)
- Sindangkasih
- Cihaur
- Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
- Karang
- Parung
- Panembong
- Batuwangi
- Saung Watang (Mangunreja)
- Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
- Suci
- Cipiniha
- Mandala
- Nagara (Pameungpeuk)
- Cidamar
- Parakan Tiga
- Muara
- Cisalak
- Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC,
maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya,
dan Bandung. Batas di sebelah Timur adalah Garis Cimanuk - Cilutung
ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas di sebelah Selatan
laut. Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang
telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan
runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan
Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat
Kandagalante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk
Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya
melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus
Pajajaran.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 yang berbunyi: "Ghesan Ulun
nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing
bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri
Sumedangmandala" (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah
runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini
terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang), selanjutnya diberitakan
"Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan
Ulun" (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan
Ulun).
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus
ke Sumedang tersebut, yaitu Jayaperkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya
(Nangganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu:
"Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala,
sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya" (Mereka mengabdi kepada
Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi
mengatur pemerintahan dan lain-lain), sehingga peristiwa penobatan Prabu
Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan Raja
Sumedang Larang ke-9 mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahyangan
yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala
yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul
dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi Nalendra baru pengganti
penguasa Pajajaran yang telah sirna. Pemberian pusaka Pajajaran pada
tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten
Sumedang.
Jayaperkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara
Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Kropak 630,
jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat
lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan
saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting.
Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun
"nyakrawartti" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan
Sumedang yang mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon.
Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan
bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati
Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti
legalisasi kebesaran Sumedang Larang,
sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan Mataram.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun
babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada
abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan
Pajajaran Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang
dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian
rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru
dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian
berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan
peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang dijadikan pegangan dalam
menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
- Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun
1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam
upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi
Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir," artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
- Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran. Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
- Tiga : Dibuat Prof. Dr. Husein Djajadiningrat berjudul : Critise Beshuocing van de Sejarah Banten.
Desertasi ini antara lain menyebutkan serangan tentara Islam ke Ibukota
Pajajaran terjadi pada tahun 1579, tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber di atas, maka dalam diskusi untuk
menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing
Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita;
Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun
Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya
22 April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat II Sumedang waktu itu, dalam
Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan
tanggal 22 April 1578 sebagai Hari Jadi Kabupaten Sumedang.
Bupati Sumedang dari Masa ke Masa:
Berikut adalah nama-nama bupati Sumedang:
[4]
- Pangeran Koesoemahdinata I (Pangeran Santri) : 1530-1578
- Pangeran Koesoemahdinata II (Pangeran Geusan Ulun) : 1578-1601
- Pangeran Koesoemahdinata III (Pangeran Rangga Gempol I) : 1601-1625
- Pangeran Koesoemahdinata IV (Pangeran Rangga Gede) : 1625-1633
- Raden Bagus Weruh (Pangeran Koesoemahdinata V/Pangeran Rangga Gempol II) : 1633-1656
- Pangeran Koesoemahdinata VI (Pangeran Panembahan/Pangeran Rangga Gempol III) : 1656-1706
- Dalem Adipati Tanoemadja : 1706-1709
- Raden Tumenggung Koesoemahdinata VII (Pangeran Rangga Gempol IV/Pangeran Karuhun) : 1709-1744
- Dalem Istri Radjaningrat : 1744-1759
- Dalem Adipati Koesoemahdinata VIII (Dalem Anom) : 1759-1761
- Dalem Adipati Soerianagara II : 1761-1765
- Dalem Adipati Soerialaga : 1765-1773
- Dalem Adipati Partakoesoemah (Tusschen Bestur Parakanmuncang) : 1773-1789
- Dalem Aria Satjapati III : 1789-1791
- Raden Tumenggung Soerianagara (Pangeran Koesoemahdinata IX/Pangeran Kornel) : 1791-1828
- Dalem Adipati Koesoemahjoeda (Dalem Ageung) : 1828-1833
- Dalem Adipati Koesoemahdinata (Dalem Alit) : 1833-1834
- Raden Tumenggung Soeriadilaga : 1834-1836
- Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Sugih) : 1836-1882
- Pangeran Aria Soeriaatmadja (Pangeran Mekkah) : 1882-1919
- Adipati Aria Koesoemadilaga : 1919-1937
- Tumenggung Aria Soeria Koesoema Adinata : 1937-1946
- Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1946-1947
- Tumenggung Mohamad Singer : 1947-1949
- Tumenggung Hasan Satjakoesoemah : 1949-1950
- Raden Abdoerachman Kartadipoera : 1951-1958
- Sulaeman Soemitakoesoemah : 1951-1958
- Antam Sastradipura (Kepala Daerah) dan R. Enoh Soeriadikoesoemah (Pj. Bupati) : 1958-1960
- Mohamad Chafil : 1960-1966
- Adang Kartaman : 1966-1970
- Drs. Supian Iskandar (Pj. Bupati) : 1970-1972
- Drs. Supian Iskandar : 1972-1977
- Drs. Soeyoed (Pj. Bupati) : 1977-1978
- Drs. H. Kustandi Abdoerachman : 1978-1983
- Drs. H. Sutardja : 1983-1993
- Drs. H. Moch Husein Jachjasaputra : 1993-1998
- Drs. H. Misbach : 1998-2003
- H. Don Murdono, S.H., M.Si : 2003-2013
- Drs. H. Endang Sukandar, M.Si (Wafat saat menjabat) : 2013 - 2 November 2013
- Drs. H. Ade Irawan, M.Si. : 2 November 2013 - sekarang (Dilantik Januari 2014)
Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan
langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada
tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang/
sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II
yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai Pangeran
Kornel.